Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) Aceh di Banda Aceh
kemarin tidak diorganisir Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"Kami meminta referendum, sedang GAM jelas-jelas mau merdeka. Bagi
kami, apapun hasil referendum akan diterima: apakah tetap bersama
Republik Indonesia atau Aceh bisa merdeka seperti Timtim," kata Ketua
Forum Internasional untuk Aceh (IFA) Jafar Siddiq Hamzah kepada
wartawan Serambi Nurdin Hasan di New York, Minggu malam (Senin pagi
WIB).
Sementara itu, Sekjen Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) Aceh,
Aguswandi, mengatakan sekarang ini ada dua gerakan yang berbeda di
Serambi Mekkah, yaitu Gerakan Aceh Merdeka dan gerakan masyarakat
sipil yang menuntut referendum.
GAM, kata Aguswandi, dari dulu telah mengangkat senjata untuk
memperjuangkan kemerdekaan Aceh. GAM yang dipimpin Hasan Tiro adalah
sebuah gerakan perlawanan bersenjata.
Sedangkan gerakan sipil yang meminta referendum adalah gerakan
non-bersenjata dan memperjuangkan hak-hak rakyat Aceh melalui
cara-cara damai. Mulanya dimotori oleh mahasiswa dan mendapat sambutan
dari kalangan ulama, santri dan cendikiawan.
Gerakan ini makin mendapat dukungan dari masyarakat umum menyusul
keruntuhan Orde Baru dan aksi militer yang dinilai melanggar hak asasi
manusia, terutama serangan atas Tengku Bantaqiah dan pengikutnya di
desa Beutong Ateuh.
"Gerakan sipil inilah yang mengorganisasikan aksi damai ratusan ribu
warga Aceh di Pidie dan kemudian disusul Sidang Umum Masyarakat
Pejuang Referendum di Banda Aceh yang dihadiri sekitar sejuta orang
dari seluruh wilayah Aceh," kata Aguswandi.
Menurut Jafar, referendum adalah cara yang paling baik untuk
menyelesaikan masalah Aceh. Sebab, melalui referendum itu akan bisa
diketahui apa keinginan sekitar 4 juta rakyat Aceh, apakah mau tetap
bersama Indonesia atau melepaskan diri setelah lebih dari 54 tahun
bersama Indonesia. "Kami akan terima dan hormati apapun hasilnya,"
kata Jafar.
Terhadap kemungkinan terjadinya perang saudara jika diadakan
referendum sebagai halnya yang terjadi di Timtim, Jafar yang mengaku
tahu betul karakter rakyat Aceh menegaskan bahwa hal itu tidak akan
terjadi. Kecuali kalau memang ada yang merekayasanya.
Untuk menjaga agar proses referendum itu berjalan dengan bebas, jujur,
aman dan lancar, Jafar mengatakan sebaiknya referendum itu
dilaksanakan PBB sebagaimana yang terjadi di Timtim. "Idealnya sih
begitu," katanya.
Namun, jika PBB tidak dimungkinkan untuk menjadi pelaksana, proses
referendum itu bisa juga dilakukan lembaga khusus untuk itu dengan
mengikutsertakan lembaga-lembaga internasional, badan-badan PBB dan
LSM semacam Carter Center.
Baik Jafar maupun Aguswandi tidak mau berspekulasi mengenai apakah
pihak yang ingin Aceh merdeka akan memenangi referendum itu
sebagaimana jajak pendapat di Timtim.
"Kita lihat saja nanti. Yang jelas orang Aceh umumnya hanya mengetahui
bahwa referendum itu berarti merdeka," kata Aguswandi.
Tak ada dukungan
Direktur Eksekutif Human Right Watch Asia, Sidney Jones, menjawab
pertanyaan ANTARA dalam sebuah diskusi di New York, mengatakan mungkin
saja hasil jajak pendapat di Timtim memberi inspirasi dan semangat
bagi rakyat Aceh, namun sampai saat ini tidak ada dukungan
internasional bagi "Serambi Mekkah" itu untuk merdeka.
"Aceh tidak punya semacam Portugal bagi Timtim yang begitu giatnya
memperjuangkan bekas wilayah jajahannya itu. Aceh juga tidak punya
tokoh-tokoh macam Ramos Horta yang aktif melakukan kampanye Timtim di
luar negeri," kata Sydney.
Portugal, katanya, begitu kerasnya menekan Indonesia soal Timtim di
forum-forum seperti Uni Eropa dan PBB. Sedangkan untuk Aceh, tidak ada
negara yang memperjuangkan kepentingan Aceh di forum internasional,
termasuk misalnya di Organisasi Konferensi Islam (OKI). Apalagi di PBB
dan Uni Eropa.
Menurut Sydney Jones, tidak adanya dukungan internasional bagi Aceh
juga disebabkan dasar legitimasi tuntutan Aceh yang tidak sekuat
Timtim. Ada sejumlah resolusi PBB yang tidak mengakui integrasi Timtim
ke dalam Indonesia, sedangkan dasar hukum internasional itu tidak
dimiliki Aceh.
"Mungkin ada surat-surat Aceh di PBB, tetapi tidak sekuat resolusi
yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB," kata Sydney.
Belum lagi, katanya, peran Gereja Katolik Internasional yang sangat
besar bagi perjuangan Timtim. "Peran gereja ini yang tidak dimiliki
Aceh," ujar Sydney Jones.
Namun, Jafar Siddik mengatakan, tidak sepenuhnya pendapat Sydney Jones
benar. Aceh punya dasar-dasar yang cukup kuat untuk meminta referendum
bagi hak menentukan nasib sendiri. Jafar mengacu pada sejarah Aceh
yang tak pernah bisa ditaklukan penjajah Belanda.
Selama penjajahan Belanda, katanya, Kerajaan Aceh tidak bisa
dikalahkan. Pada tahun 1942, Jepang masuk dan Belanda meninggalkan
Indonesia. Pada tahun 1945 Indonesia merdeka. Pada tahun 1949 Belanda
menyerahkan kedaulatan bekas wilayah jajahannya kepada pemerintah
Indonesia.
"Lha bagaimana Belanda bisa menyerahkan Aceh kepada kedaulatan
Indonesia sementara Aceh tidak pernah menjadi wilayah jajahannya,"
begitu Jafar mempertanyakan. (*)
Sumber: Serambi Indonesia
Showing posts with label Arsip Media. Show all posts
Showing posts with label Arsip Media. Show all posts
Sunday, May 22, 2011
Pulang Seperti Pahlawan
Jutaaan warga, sejak sore hingga tadi malam memadati jalan-jalan raya
di Propinsi Aceh yang dilewati konvoi referendum yang baru pulang dari
Banda Aceh mengikuti Sidang Umum Majelis Perjuangan Referendum
(SU-MPR).
Berbagai makanan dan minuman yang sudah disiapkan di pinggir jalan
diberikan kepada penumpang kendaraan secara cuma-cuma. Rakyat yang
berdiri di sepanjang jalan, sambil menggemakan yel referendum, juga
menyalami anggota konvoi, layaknya menyambut pahlawan yang baru pulang
dari medan juang.
Dari Bireuen dan Matanggeulumpang Dua, sejak rombongan pawai
referendum dari Aceh Timur dan Aceh Utara memasuki kota Bireuen dan
Matanggeulumpangdua, masyarakat terus berjejer di jalan yang dilalui
rombongan tersebut.
Yel-yel "Hidup Referendum" maupun "Aceh Merdeka" terdengar tidak
putus-putusnya yang saling bersahutan antara peserta pawai dan
masyarakat setempat. Kemeriahan di Bireuen dan Matang tak kalah dengan
di Banda Aceh. Kalau di ibukota propinsi ada hampir dua juta massa,
maka di Bireuen dan Matang mencapai ratusan ribu orang.
Kehadiran rombongan Aceh Timur mempunyai arti tersendiri bagi warga
Bireuen, karena sejak keberangkatan ke Banda Aceh, Minggu (7/11)
diklaim sebagai rombongan terbesar. "Aceh Timur memang fantastis,"
sebut seorang warga Bireuen.
Masyarakat Bireuen meluapkan kegembiraannya dengan membagi-bagikan
minuman mineral, keripik. Di Matanggeulumpangdua, rombongan
mendapatkan pisang dari para pemuda setempat, sebagai ungkapan
kebersamaan dalam perjuangan.
Masyarakat yang tidak kenal lelah tidak henti-hentinya menyalami
anggota rombongan. Sehingga setiap kendaraan yang melintasi kota
tersebut, memperlambat kendaraan untuk memberikan ucapan selamat
kepada peserta pawai, yang seakan-akan baru saja memenangkan
peperangan. Rombongan pun begitu gembira memasuki ke dua kota
tersebut, bahkan bersedia berbasah-basahan dengan siraman air dari
pemadam di Bireuen.
Di Lhokseumawe dan Panton Labu, sambutan warga tak kalah gemanya.
Ratusan ribu orang berjejer di pinggir jalan menyambut konvoi. Warga
Panton Labu menyambut peserta dengan memberikan makanan dan minuman
yang langsung dilemparkan ke kendaraan. Jeruk bali, pisang salee,
pisang, tebu, dan berbagai minuman ringan diberikan secara cuma-cuma.
Suasana kemeriahan juga terlihat di sepanjang jalan Aceh Timur. Konvoi
kendaraan yang masih cukup panjang, menjelang magrib kemarin sudah
memasuki kota Peureulak, sekitar 40 km sebelah barat Langsa.
Dari Pidie juga dilaporkan masyarakat setempat sangat antusias
menyambut kedatangan rombongan. Ratusan ribu warga yang kebanyakan
wanita, orang tua, dan anak-anak meninggalkan desa khusus untuk
memberikan aplus kepada konvoi referendum.
Dipeusijuek
Massa dari Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Aceh Singkil, sejak petang
sudah tiba kembali di Meulaboh. Mereka disambut meriah oleh masyarakat
di sepanjang lintasan Meulaboh - Banda Aceh dan Meulaboh Tapaktuan.
Konvoi massa yang datang bergelombang itu, mulai memasuki Kota
Meulaboh sekitar pukul 17.00 WIB.
Seluruh rambongan yang berasal dari Aceh Barat, Aceh Singkil, Aceh
Selatan setiba di kawasan Titi Mirik --menjelang masuk kota
Meulaboh -- berhenti sejenak untuk mengambil minuman dan makanan
ringan yang disediakan Pemda Aceh Barat. Rombongan kemudian kembali
melanjutkan perjalanan ke daerahnya masing-masing.
Ketua DPRD Aceh Barat Drs Sofyan S Sawang kepada Serambi mengatakan,
berdasarkan laporan yang dia terima seluruh rambongan Aceh Barat sudah
tiba kembali ke daerahnya dengan selamat Minggu petang dan mendapat
sambutan meriah dari masyarakat. Malah, rambongan pawai referendum
dari Seunagan Raya setiba di kawasan Simpang Peut Kuala dipeusijuk
oleh masyarakat setempat.
Sementara di Aceh Selatan, sepanjang hari kemarin sampai tadi malam
lumpuh total. Bukan hanya itu, semua aktivitas masyarakat di wilayah
Blangpidie terhenti, kantor-kantor pemerintah ditutup dan sekolah
diliburkan, kalaupun ada murid yang datang, lalu disuruh pulang.
Kondisi tersebut merupakan penghormatan masyarakat terhadap warga yang
memperjuangkan referendum di Banda Aceh. (tim)
Sumber:Serambi-Banda Aceh
di Propinsi Aceh yang dilewati konvoi referendum yang baru pulang dari
Banda Aceh mengikuti Sidang Umum Majelis Perjuangan Referendum
(SU-MPR).
Berbagai makanan dan minuman yang sudah disiapkan di pinggir jalan
diberikan kepada penumpang kendaraan secara cuma-cuma. Rakyat yang
berdiri di sepanjang jalan, sambil menggemakan yel referendum, juga
menyalami anggota konvoi, layaknya menyambut pahlawan yang baru pulang
dari medan juang.
Dari Bireuen dan Matanggeulumpang Dua, sejak rombongan pawai
referendum dari Aceh Timur dan Aceh Utara memasuki kota Bireuen dan
Matanggeulumpangdua, masyarakat terus berjejer di jalan yang dilalui
rombongan tersebut.
Yel-yel "Hidup Referendum" maupun "Aceh Merdeka" terdengar tidak
putus-putusnya yang saling bersahutan antara peserta pawai dan
masyarakat setempat. Kemeriahan di Bireuen dan Matang tak kalah dengan
di Banda Aceh. Kalau di ibukota propinsi ada hampir dua juta massa,
maka di Bireuen dan Matang mencapai ratusan ribu orang.
Kehadiran rombongan Aceh Timur mempunyai arti tersendiri bagi warga
Bireuen, karena sejak keberangkatan ke Banda Aceh, Minggu (7/11)
diklaim sebagai rombongan terbesar. "Aceh Timur memang fantastis,"
sebut seorang warga Bireuen.
Masyarakat Bireuen meluapkan kegembiraannya dengan membagi-bagikan
minuman mineral, keripik. Di Matanggeulumpangdua, rombongan
mendapatkan pisang dari para pemuda setempat, sebagai ungkapan
kebersamaan dalam perjuangan.
Masyarakat yang tidak kenal lelah tidak henti-hentinya menyalami
anggota rombongan. Sehingga setiap kendaraan yang melintasi kota
tersebut, memperlambat kendaraan untuk memberikan ucapan selamat
kepada peserta pawai, yang seakan-akan baru saja memenangkan
peperangan. Rombongan pun begitu gembira memasuki ke dua kota
tersebut, bahkan bersedia berbasah-basahan dengan siraman air dari
pemadam di Bireuen.
Di Lhokseumawe dan Panton Labu, sambutan warga tak kalah gemanya.
Ratusan ribu orang berjejer di pinggir jalan menyambut konvoi. Warga
Panton Labu menyambut peserta dengan memberikan makanan dan minuman
yang langsung dilemparkan ke kendaraan. Jeruk bali, pisang salee,
pisang, tebu, dan berbagai minuman ringan diberikan secara cuma-cuma.
Suasana kemeriahan juga terlihat di sepanjang jalan Aceh Timur. Konvoi
kendaraan yang masih cukup panjang, menjelang magrib kemarin sudah
memasuki kota Peureulak, sekitar 40 km sebelah barat Langsa.
Dari Pidie juga dilaporkan masyarakat setempat sangat antusias
menyambut kedatangan rombongan. Ratusan ribu warga yang kebanyakan
wanita, orang tua, dan anak-anak meninggalkan desa khusus untuk
memberikan aplus kepada konvoi referendum.
Dipeusijuek
Massa dari Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Aceh Singkil, sejak petang
sudah tiba kembali di Meulaboh. Mereka disambut meriah oleh masyarakat
di sepanjang lintasan Meulaboh - Banda Aceh dan Meulaboh Tapaktuan.
Konvoi massa yang datang bergelombang itu, mulai memasuki Kota
Meulaboh sekitar pukul 17.00 WIB.
Seluruh rambongan yang berasal dari Aceh Barat, Aceh Singkil, Aceh
Selatan setiba di kawasan Titi Mirik --menjelang masuk kota
Meulaboh -- berhenti sejenak untuk mengambil minuman dan makanan
ringan yang disediakan Pemda Aceh Barat. Rombongan kemudian kembali
melanjutkan perjalanan ke daerahnya masing-masing.
Ketua DPRD Aceh Barat Drs Sofyan S Sawang kepada Serambi mengatakan,
berdasarkan laporan yang dia terima seluruh rambongan Aceh Barat sudah
tiba kembali ke daerahnya dengan selamat Minggu petang dan mendapat
sambutan meriah dari masyarakat. Malah, rambongan pawai referendum
dari Seunagan Raya setiba di kawasan Simpang Peut Kuala dipeusijuk
oleh masyarakat setempat.
Sementara di Aceh Selatan, sepanjang hari kemarin sampai tadi malam
lumpuh total. Bukan hanya itu, semua aktivitas masyarakat di wilayah
Blangpidie terhenti, kantor-kantor pemerintah ditutup dan sekolah
diliburkan, kalaupun ada murid yang datang, lalu disuruh pulang.
Kondisi tersebut merupakan penghormatan masyarakat terhadap warga yang
memperjuangkan referendum di Banda Aceh. (tim)
Sumber:Serambi-Banda Aceh
No one dare to deny what Acehnese demand. Honestly and with courage they will say "REFERENDUM: The Best Solution For Aceh", so does this red words state in the banner. |
Gelorakan Referendum
Acehnese supporters rally for independence under a banner reading "Referendum," in front of the main mosque in Banda Aceh, about 1,700 kilometers (1,100 miles) northwest of Jakarta, Monday, Nov. 8, 1999. More than 1,500,000 marchers protested in the biggest rally yet for an East Timor-style vote on whether to break away from Indonesia. (AP Photo/Achmad Ibrahim/Monday 8 November 1999)
Perhelatan kolosal Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR)
Aceh, Senin kemarin, berlangsung sukses, damai, dan nyaris tanpa
insiden berarti. Massa yang disebut panitia 2 juta orang dari seluruh
tingkat II di Aceh itu, memadati kawasan Masjid Raya Baiturrahman dan
sebagian lagi berkonvoi dalam Kota Banda Aceh.
Kata pengamat, dalam sejarah daerah ini, belum pernah terjadi
'penumpukan' manusia sebanyak peristiwa kemarin. "Seumur hidup saya
tak pernah melihat orang sebanyak ini," kata M Kasim (45) yang datang
yang mengaku datang dari Kabupaten Aceh Timur.
Dinilai luar biasa, terutama karena konsentrasi manusia sebanyak itu
ternyata bisa terkendali. Yang berada di kawasan Masjid Raya
Baiturrahman untuk mengikuti sidang umum, mereka bisa duduk secara
rapi dan tertib.
Hampir tak ada sudut dalam komplek masjid kebanggaan rakyat Aceh itu
yang tanpa diisi manusia. Sebagian lagi memadati jalan-jalan di
pinggiran masjid. Bahkan, karena tak kebagian tempat, sebagian massa
terpaksa menaiki sejumlah bangunan, seperti atap tempat parkir dan
bangunan tempat berwudhuk, bangunan Pasar Aceh, pertokoan-pertokoan,
pohon-pohon kecil, dan bahkan bangunan seperti pintu gerbang masjid di
atasnya juga turut berjejal manusia.
Pagi kemarin, penumpukan manusia di kawasan Masjid Raya Baiturrahman
berlangsung cepat. Sehingga menjelang pukul 08.00 WIB kemarin, massa
yang terus mengalir dari berbagai sudut dalam Kota Banda Aceh, tidak
bisa lagi masuk ke kawasan masjid. Massa yang tidak bisa lagi masuk ke
kawasan masjid ini jumlahnya dilaporkan jauh lebih banyak, mencapai
empat kali dari yang ada di kawasan masjid. Sebagiannya kemudian
mengisi berbagai sudut kota dan sebagian melakukan konvoi secara
berpencar-pencar.
Massa yang umumnya menggunakan ikat kepala bertuliskan "Referendum"
ini benar-benar larut dan histeris. Pekikan Allahu Akbar, alunan
Shalawat Nabi, hikayat Prang Sabi, ataupun zikir, sebentar-bentar
bergema yang dipandu sejumlah tokoh referendum dari mimbar, Akmal
Aksal (pemandu acara), Muhammad Nazar (SIRA), Faisal Ridha (ketua
panitia), Tgk Nuruzzahri (ulama), Tgk Bulqaini (pimpinan Thaliban),
Fajri M Kasim (mahasiswa), Cut Nurasikin (tokoh wanita), maupun
Muhammad Yus dan Nasir Jamil (pimpinan DPRD Aceh).
Dari atas mimbar yang terletak di depan teras utama Masjid Raya
Baiturrahman, para pemandu dan orator seringkali menasihati massa agar
tetap bersikap tertib. Ini terutama di saat sesekali massa histeris
karena isi pidato ataupun insiden-insiden kecil di tengah massa.
Sehingga terkadang massa berdiri, namun kemudian mereka segera
ditenangkan dan diingatkan tidak terprovokasi.
Massa yang menyemut di masjid itu bisa dengan mudah dikendalikan dari
mimbar. Bila massa mulai berdiri misalnya, dengan cepat para pemandu
mengajak massa untuk bershalawat atau memekikkan Allah Akbar. Mereka
patuh saat diminta untuk duduk kembali. Selain dari mimbar, di antara
sesama massa pun terkadang mereka saling mengingatkan untuk bersikap
tertib. Mereka tampak sangat menyadari sedang memperjuangkan
referendum secara damai. "Hari ini dunia menyaksikan bahwa masyarakat
Aceh cinta damai," teriak seorang orator dari mimbar.
Sekitar pukul 09.30 WIB sempat terjadi insiden kecil yang memancing
perhatian massa di sisi utara masjid. Rupanya sebagian atap bangunan
parkir masjid sempat patah karena tidak mampu menyanggah banyaknya
jumlah massa yang naik. Namun, massa lagi-lagi dengan cepat bisa
ditenangkan. Bersamaan dengan insiden kecil ini hujan rintik-rintikpun
turun, seakan memberikan siraman kepada massa yang mulai kegerahan.
Cuaca yang menyelimuti Kota Banda Aceh kemarin memang tampak sangat
bersahabat dan menguntungkan. Terik matahari tidak terlalu panas.
Bahkan massa di komplek masjid sempat beberapa kali disiram hujan
rintik-rintik yang sangat menolong mereka dari kegerahan. "Kita
ternyata tidak memerlukan mobil penyemprot air. Allah telah menyirami
kita. Namun kita jangan sombong," teriak pemandu acara, Akmal Absal.
Secara resmi acara kemarin dimulai sekitar pukul 08.15 WIB yang
diawali dengan mengumandangkan ayat-ayat suci al-Quran oleh Fadliana.
Baru kemudian pada sekitar pukul 08.50 WIB bendera referendum
berukuran 4x8 meter dengan sangat hikmat perlahan-lahan dinaikkan ke
tiang beton yang terletak di sisi selatan halaman masjid.
Bendera referendum ini dinaikan oleh sebuah pasukan berseragam
berjumlah 24 orang yang dipimpin Adista. Mereka bergerak dengan
formasi 4:2:9:9. Formasi ini sesuai dengan waktu pelaksanaan Kongres
Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau pada tanggal 4 Februari 1999. Bendera
ini perlahan-lahan dinaikkan dengan iringan hikayat Prang Sabi.
Setelah sejumlah tokoh menyampaikan orasi, barulah pada sekitar pukul
10.50 WIB, Ketua terpilih DPRD Aceh, Drs Muhammad Yus diminta tampil
berbicara. Di depan massa, Muhammad Yus antara lain berjanji akan
meneruskan perjuangan yang dikehendaki masyarakat Aceh.
Muhammad Yus juga menjelaskan bahwa kedudukannya saat ini hanya baru
sebatas sebagai ketua DPRD Aceh yang baru dipilih beberapa hari lalu
dan sampai kemarin belum mendapat pengesahan. Karena itu, Muhammad Yus
saat itu memanggil pimpinan sementara DPRD Aceh, Drs Nasir Djamil
(anggota termuda) untuk bersama-sama dengannya menyampaikan serta
membaca janji/komitmen DPRD Aceh dan Pemda Aceh sebagai berikut.
Kami lembaga Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan
pemerintah daerah Istimewa Aceh menyatakan komitmen dan menuntut
hal-hal sebagai berikut.
þ Mengakui bahwa tuntutan dan perjuangan untuk mendaptkan hak
penentuan nasib sendiri (self determination) rakyat Aceh melalui
sebuah Referendum Damai dan Demokratis merupakan tuntutan dan
perjuangan rakyat Aceh secara keseluruhan, serta mesti ditanggapi
secara positif oleh semua pihak di tingkat nasional dan internasional
secara positif.
þ Berjanji memperjuangkan terwujudnya pelaksanaan referendum di Aceh
secara transparan, damai, dan demokratis.
þ Berjanji menolak segela bentuk militerisme di Aceh.
þ Apabila kami mengingkari janji-janji/komitmen-komitmen tersebut,
maka kami berhak diberikan hukuman sosial oleh seluruh rakyat Aceh.
Setelah dibaca, Muhammad Yus dan Nasir Djamil membubuhkan tandatangan
mereka. Saat menandatangani janji, seorang panitia memegang sebuah
al-Quran di atas kepala Muhammad Yus. Prosesi ini berlangsung sangat
hikmat. Sesaat kemudian massa tampak histeris. Namun lagi-lagi mereka
bisa ditenangkan dengan tampilnya seorang 'tokoh tua' yang melantunkan
lagu Jak keuno rakan ta dukung referendum dengan irama lumayan bagus,
sehingga sebagian massa tampak ikut berjoget ria, lalu mereka duduk
kembali secara tertib.
Sedangkan atas nama Pemda Aceh, janji/komitmen tersebut ditandatangani
Wagub Bustari Mansyur karena Gubernur Syamsuddin Mahmud hingga kemarin
masih di Jakarta. Panitia menjelaskan kepada massa bahwa Syamsuddin
Mahmud juga akan ikut menandatangani naskah janji tersebut setelah ia
kembali ke Banda Aceh beberapa hari mendatang. Kata Nasir Djamil,
naskah janji/komitmen tersebut akan dikirim kepada presiden, MPR, DPR,
dan Sekjen PBB.
Barulah sekitar pukul 11.45 acara diakhiri secara resmi dengan
pembacaan doa. Namun, setelah itu, massa belum juga beranjak karena
kemudian masih dilanjutkan dengan acara pembukaan selubung tulisan
referendum yang dipancangkan di sisi masjid sebelah timur. Huruf
tulisan pada billboard itu terbuat dari besi, dipancangkan di dekat
billboard referendum lama yang selubungnya beberapa waktu lalu turut
ditarik Gus Dur (kini presiden) dan Amin Rais (kini Ketua MPR).
Billboard baru ini, ukurannya jauh lebih besar dan lebih tinggi
dibanding dengan billboard lama.
Sekitar pukul 12.00 massa kemudian mulai berangsur-angsur bergerak
meninggalkan halaman masjid.
Dari berbagai daerah tadi malam dilaporkan, iring-iringan kendaraan
rombongan yang kembali dari Banda Aceh mendapat sambutan antusias dari
masyarakat di sepanjang jalan yang dilalui hingga mencapai tujuan.
Ketua Panitia Pelaksana Faisal Ridha dan Koordinator Presidium Pusat
Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) Muhammad Nazar, seusai acara
kepada Serambi, menyatakan bahwa massa yang terlibat dalam aksi
kemarin lebih dari 1,5 juta orang. Karena, menurut Nazar dan Faisal
Ridha, sejumlah daerah tingkat II ternyata mengirim peserta jauh lebih
banyak dari yang direncanakan.
Melalui Serambi, Nazar dan Faisal Ridha menyampaikan terima kasih
kepada rakyat Aceh atas suksesnya acara tersebut. "Ini perjuangan kita
yang tidak mungkin bisa dibendung lagi. Melalui acara ini telah
membuktikan bahwa masyarakat Aceh bersatu dalam perjuangan ini," kata
Muhammad Nazar. (rul/ism/kan/ham/ed)
Luar Biasa!
HAMPIR sepanjang hari kemarin, Banda Aceh mengukir sejarah yang
benar-benar spektakuler. Konon menurut pengakuan beberapa orang tua
berusia 50-an tahun, seingat mereka belum pernah melihat orang
sebanyak itu membanjiri ibukota Propinsi Aceh. Luar biasa!
Memang luar biasa. Namun nilai luar biasanya bukan hanya karena jumlah
manusia yang menurut taksiran beberapa pihak mencapai 2 juta orang.
Lebih dari itu, selama berlangsungnya aksi pengerahan massa, nyaris
tak terjadi insiden berarti. Sulit dipercaya memang. Tapi begitulah
kenyataannya.
Dalam sejarah perjalanan masyarakat Aceh ke depan, apa yang terjadi
kemarin diyakini akan tercatat dengan tinta emas. Masjid Raya
Baiturrahman menjadi saksi suksesnya acara kolosal yang "berlabel"
Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU-MPR) tersebut.
Sepanjang perhelatan akbar itu, seluruh rutinitas di perkantoran
pemerintah/swasta, sekolah, perbankan, perdagangan, dan berbagai usaha
jasa lainnya terhenti total. Yang terlihat hampir di setiap jengkal
kota berpenduduk 260.000 jiwa itu hanya kesibukan massa. Seluruhnya
bergerak ke satu titik. Masjid Raya Baiturrahman, tempat SU-MPR itu
digelar.
Sesak hingga ke lorong
Komplek Masjid Raya Baiturrahman -- termasuk pelataran parkir -- yang
luasnya sekitar sembilan hektar ternyata tak mampu menampung ledakan
peserta SU-MPR yang menyesaki lokasi itu sejak pukul 07.00.
Selebihnya -- diperkirakan jumlahnya mencapai empat kali lipat dari
yang terkonsentrasi di komplek masjid -- tersebar di setiap jengkal
kota.
Bagi massa yang berada di luar komplek SU MPR tersebut, selain tekun
mendengarkan orasi dari mimbar utama melalui sound system masjid
berkekuatan puluhan ribu watt, juga melakukan pawai refer- endum.
Iringan pawai yang terpecah dalam beberapa kelompok besar itu
"merayap" ke berbagai pelosok kota. Tim Serambi yang menyertai iringan
pawai menyaksikan langsung bagaimana sesaknya seluruh ruas jalan kota,
termasuk lorong-lorong desa/kelurahan.
Meski kendaraan harus tertatih-tatih, namun tak terlihat wajah kesal.
Semua larut dalam teriakan referendum, kumandang takbir, shalawat
badar, dan hikayat prang sabi melalui pengeras suara yang dibawa oleh
sebagian besar peserta pawai.
Nuansa haru yang sulit dilukiskan dengan kata-kata terlihat ketika
iringan pawai melintas di lorong-lorong desa/kelurahan. Hampir setiap
rumah penduduk di sepanjang lorong yang dilewati menyediakan air putih
pelepas dahaga untuk peserta pawai. Bagi penduduk yang berkemampuan di
atas rata-rata, tampak membagi-bagikan es dan air mineral. Kesan
senasib-sepenanggungan terlihat kental sekali.
Jalur sungai padat
Pergerakan massa ke pusat Kota Banda Aceh kemarin bukan hanya melewati
jalan darat. Malah jalur sungai pun tak kalah padatnya. Puluhan kapal
motor berbagai ukuran, sejak pagi hingga siang kemarin terlihat
memobilisasi massa melalui jalur Krueng Aceh. Massa yang menggunakan
angkutan sungai itu, antara lain dari kawasan Lampulo, dan desa-desa
lainnya di sepanjang aliran sungai tersebut.
Setiap boat pengangkut massa, selain dihiasi dengan spanduk
referendum, juga menabuh rapaie, mengumandangkan shalawat, dan
bertakbir. Setelah menurunkan penumpang di dermaga jembatan Pante
Pirak dan Peunayong, armada boat itu "berkonvoi" hilir mudik di jalur
Krueng Aceh.
Menurut data yang diperoleh Serambi, tidak kurang 20 boat terlibat
dalam mobilisasi massa sejak pagi hingga siang kemarin. Partisipasi
awak boat tersebut mendapat sambutan positif dari peserta pawai yang
lalu-lalang di atas jembatan. Teriakan "hidup referendum" disertai
acungan jempol antara peserta di darat dengan yang di dalam boat
saling bersahut-sahutan.
Semangat memperjuangkan referendum ternyata bukan hanya bergelora di
kalangan peserta yang berkumpul di sekitar komplek Masjid Raya
Baiturrahman. Semangat yang sama juga ada di seluruh pojok Banda Aceh.
Karena tidak sedikit orang yang menyetel siaran langsung kegiatan itu
melalui radio mereka.
Seperti di persimpangan Keudah misalnya -- entah dari mana
sumbernya -- suara radio yang sedang menyiarkan siaran langsung SU-
MPR sengaja dihubungkan ke pengeras suara. Sehingga masyarakat yang
berada dalam radius 100 meter dari sumber suara itu dengan mudah
mendengarkannya. Begitu pun radio mobil yang sedang berpawai, sengaja
disetel "meledak-ledak" sehingga gema referendum semakin meluas.
Barangkali panitia pantas berlapang dada, karena SU-MPR berlangsung
damai. Sukses itu tak lepas dari kuatnya semangat kebersamaan.
Di hampir seluruh persimpangan, berdiri petugas penertiban (polisinya
panitia) untuk mengatur lalulintas. Tak terkesan angkuh atau
tanda-tanda sombong. "Sang polisi" bentukan panitia SU-MPR bekerja
sangat ikhlas. Masyarakat yang dilayani tampak cukup puas, meski harus
antri belasan menit di setiap persimpangan.
Tanpa korban
Meskipun peserta SU-MPR kemarin diperkirakan mencapai 2 juta orang,
tapi terjadi kejutan karena tak sempat jatuh korban. Kalaupun ada yang
terpaksa masuk rumah sakit, hanya karena luka-luka lecet akibat jatuh
dari kendaraan atau pingsan karena tidak sarapan pagi.
Data yang diperoleh Serambi dari kalangan medis dan perawat di UGD RSU
Zainoel Abidin Banda Aceh, jumlah korban yang membutuhkan perawatan
sementara hanya 12 orang. "Seluruhnya mengalami keluhan sakit perut
karena tidak sarapan pagi. Sebagian lainnya luka-luka lecet karena
kecelakaan ringan," kata seorang dokter UGD.
Kalangan medis dan perawat di UGD kepada Serambi mengatakan, mereka
tak menyangka sama sekali jika jumlah korban yang masuk rumah sakit
hanya sebanyak itu. Padahal seluruh dokter ahli dan perawat senior
dikerahkan ke UGD untuk memberikan pertolongan terhadap "korban SU-
MPR".
"Luar biasa sekali. Orang sebanyak itu ternyata tak terjadi insiden
berarti. Ini patut kita syukuri," kata seorang perawat senior di UGD
RSU Zainoel Abidin.
Di RS Fakinah, tercatat hanya satu orang "korban" yang sempat dirawat
akibat keluhan keram dan kejang-kejang. Sedangkan di RS Malahayati
empat orang yang dirawat akibat luka-luka ringan karena kecelakaan.
Dengan demikian, total korban yang dirawat diketiga rumah sakit itu
hanya 17 orang. (nan/n/mis/y/rs/asi/ism)
Rilis Serambi Indonesia Selasa, 9 November 1999
Massa Referendum "Lumpuhkan" Banda Aceh
Kota Banda Aceh sepanjang hari kemarin praktis dikuasai peserta Sidang
Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU-MPR). Seluruh aktivitas di luar
kegiatan itu terhenti total. Malah untuk mencari nasi bungkus pun
sulit, karena tak ada warung atau rumah makan yang membuka usahanya.
Ibukota Propinsi Daerah Istimewa Aceh, sepanjang hari kemarin
benar-benar lumpuh. Seluruh pertokoan dan usaha dagang di pusat kota,
termasuk wilayah pinggiran hingga ke kawasan Aceh Besar tak ada yang
buka.
Yang terhenti bukan hanya kegiatan bisnis. Aktivitas kantor
pemerintah/swasta, sekolah, usaha angkutan, dan beberapa sektor jasa
lainnya terlihat tutup. Satu-satunya kesibukan hanya terlihat di rumah
sakit, seperti UGD RSU Zainoel Abidin.
Di Pasar Aceh dan Peunayong, pemilik toko yang biasanya membuka usaha
dagang terlihat duduk-duduk di depan tempat usahanya. Sesekali
mereka -- umumnya WNI turunan -- tampak membagi-bagikan air mineral
untuk peserta SU-MPR yang lalu-lalang di depan tokonya.
Terminal labi-labi Jalan Diponegoro, hingga sore kemarin terlihat
kosong. Sedangkan ketika SU-MPR itu berlangsung, ruas Jalan Diponegoro
tersebut dijejali ribuan warga. Begitu pun terminal bus Setuy, dan
terminal bus Beurawe, tak ada aktivitas apa pun.
Pelayanan jasa lainnya yang tutup total adalah warung teleko- munikasi
(wartel). Beberapa peserta SU-MPR yang bermaksud mengguna- kan
fasilitas telepon interlokal di wartel, ternyata tak menemukan satu
pun tempat usaha itu yang beroperasi.
Pasar Sayur bertingkat di pusat kota Banda Aceh, tampak bagai lapangan
bola. Kalau pada hari-hari biasanya aktivitas di pasar bertingkat itu
super sibuk, sepanjang hari kemarin lengang. Kondisi serupa juga
terlihat di Pasar Sayur Peunayong, Pasar Ikan, Pasar Daging, serta
Pasar Kampung Baru.
Meskipun seluruh aktivitas perdagangan terhenti, namun tak ada
indikasi kepanikan di kalangan masyarakat. Karena sejak dua hari
sebelum SU-MPR itu digelar, masyarakat sudah mengantisipasi dengan
membeli stok untuk kebutuhan satu hari. "Tak ada masalah, walau pun
hari ini tidak bisa belanja," kata seorang ibu rumah tangga di kawasan
Kampung Baru.
Sekolah Tutup
Proses belajar-mengajar di lembaga pendidikan mulai TK sampai
perguruan tinggi di Kotamadya Banda Aceh, termasuk Aceh Besar, Senin
kemarin -- meski tidak diliburkan secara resmi --tapi tutup total.
"Tak ada siswa yang datang ke sekolah," kata seorang guru SLTP Negeri
1 Banda Aceh.
Di komplek kampus Unsyiah, sepanjang hari kemarin hanya terlihat
akstivitas mahasiswa di luar kampus, terutama mahasiswa yang menjadi
peserta atau panitia SU-MPR. Kegiatan kuliah, sebagaimana pantauan
Serambi ke sejumlah fakultas tidak berjalan sama sekali. Selain tak
ada mahasiswa yang masuk, dosen pun tidak terlihat.
Tidak berlangsungnya aktivitas belajar-mengajar di lembaga pendidikan
kemarin merupakan inisiatif dari masing-masing peserta didik. Karena
sebagaimana pengamatan Serambi, para orangtua murid terkesan was-was
melepaskan anak-anaknya ke sekolah.
Sumbangan Nasi
Dampak tidak bukanya warung nasi sepanjang hari kemarin menimbulkan
masalah bagi masyarakat yang menghadiri perhelatan SU-MPR, terutama
untuk makan siang. Namun kendala ini sedikit terbantu dengan
partisipasi warga kota, terutama kalangan ibu-ibu yang mengantar nasi
bungkus atau bu kulah untuk masyarakat yang menghadiri kegiatan
kolosal tersebut.
Keikutsertaan kaum ibu terlihat ketika menjelang waktu makan siang
kemarin. Hampir dari setiap rumah ada yang menjinjing nasi bungkus
untuk peserta sidang.
Jumlah makanan itu, menurut Koordinator Presidium Pusat SIRA, Muhammad
Nazar SAg yang dihubungi Serambi tadi malam, tidak dihitung secara
rinci. Namun, jumlahnya secara umum bisa ditaksir.
Sebab, katanya, Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) telah meminta
bantuan kepada warga Kota Banda Aceh agar menyediakan bantuan seperti
itu untuk para tamu. Bantuan sukarela ini, ternyata direalisir
sebagian besar warga di setiap kelurahan di kota maupun desa-desa di
Banda Aceh, termasuk Aceh Besar.
Rata-rata, katanya, setiap kepala keluarga (KK) membantu sebanyak lima
bungkus nasi plus makanan ringan. Setiap bungkusnya sudah dicampur
dengan lauk-pauk dengan porsi bervariasi.
Makanan itu, katanya, diserahkan dengan cara yang berbeda. Ada yang
langsung mengantarkan ke tempat-tempat penampungan para tamu, dan ada
pula yang dijemput dari rumah ke rumah.
Sementara itu, sejumlah karyawan Pasar Swalayan di Banda Aceh
mengungkapkan, pihak pengelola terpaksa menutup kegiatannya karena
kuatir terhadap hal-hal yang tidak diharapkan.
Di perbankan, hingga siang kemarin tak ada kegiatan kliring maupun
transaksi dana untuk masyarakat umum. Operasional bank tutup akibat
macetnya tranportasi kota.
"Tutupnya bank, karena sejak pukul 06.00 jalan di kota sudah macet,
akibat dipenuhi masyarakat yang akan menghadiri pelaksanaan SU- MPR,"
ujar Kabid Ekonomi Moneter dan Perbankan Bank Indonesia Banda Aceh,
Abdul Wahab Sjachroni SE kepada Serambi kemarin.
Hal senada juga diungkapkan petugas penjaga BII dan BCA. Mereka
menjelaskan, banknya ditutup, di samping faktor pelaksaan sidang umum
tersebut, juga karena banyak karyawan yang tidak hadir, akibat
macetnya transportasi.(asi/y/mis/ed/her/n)Serambi Indonesia
Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU-MPR). Seluruh aktivitas di luar
kegiatan itu terhenti total. Malah untuk mencari nasi bungkus pun
sulit, karena tak ada warung atau rumah makan yang membuka usahanya.
Ibukota Propinsi Daerah Istimewa Aceh, sepanjang hari kemarin
benar-benar lumpuh. Seluruh pertokoan dan usaha dagang di pusat kota,
termasuk wilayah pinggiran hingga ke kawasan Aceh Besar tak ada yang
buka.
Yang terhenti bukan hanya kegiatan bisnis. Aktivitas kantor
pemerintah/swasta, sekolah, usaha angkutan, dan beberapa sektor jasa
lainnya terlihat tutup. Satu-satunya kesibukan hanya terlihat di rumah
sakit, seperti UGD RSU Zainoel Abidin.
Di Pasar Aceh dan Peunayong, pemilik toko yang biasanya membuka usaha
dagang terlihat duduk-duduk di depan tempat usahanya. Sesekali
mereka -- umumnya WNI turunan -- tampak membagi-bagikan air mineral
untuk peserta SU-MPR yang lalu-lalang di depan tokonya.
Terminal labi-labi Jalan Diponegoro, hingga sore kemarin terlihat
kosong. Sedangkan ketika SU-MPR itu berlangsung, ruas Jalan Diponegoro
tersebut dijejali ribuan warga. Begitu pun terminal bus Setuy, dan
terminal bus Beurawe, tak ada aktivitas apa pun.
Pelayanan jasa lainnya yang tutup total adalah warung teleko- munikasi
(wartel). Beberapa peserta SU-MPR yang bermaksud mengguna- kan
fasilitas telepon interlokal di wartel, ternyata tak menemukan satu
pun tempat usaha itu yang beroperasi.
Pasar Sayur bertingkat di pusat kota Banda Aceh, tampak bagai lapangan
bola. Kalau pada hari-hari biasanya aktivitas di pasar bertingkat itu
super sibuk, sepanjang hari kemarin lengang. Kondisi serupa juga
terlihat di Pasar Sayur Peunayong, Pasar Ikan, Pasar Daging, serta
Pasar Kampung Baru.
Meskipun seluruh aktivitas perdagangan terhenti, namun tak ada
indikasi kepanikan di kalangan masyarakat. Karena sejak dua hari
sebelum SU-MPR itu digelar, masyarakat sudah mengantisipasi dengan
membeli stok untuk kebutuhan satu hari. "Tak ada masalah, walau pun
hari ini tidak bisa belanja," kata seorang ibu rumah tangga di kawasan
Kampung Baru.
Sekolah Tutup
Proses belajar-mengajar di lembaga pendidikan mulai TK sampai
perguruan tinggi di Kotamadya Banda Aceh, termasuk Aceh Besar, Senin
kemarin -- meski tidak diliburkan secara resmi --tapi tutup total.
"Tak ada siswa yang datang ke sekolah," kata seorang guru SLTP Negeri
1 Banda Aceh.
Di komplek kampus Unsyiah, sepanjang hari kemarin hanya terlihat
akstivitas mahasiswa di luar kampus, terutama mahasiswa yang menjadi
peserta atau panitia SU-MPR. Kegiatan kuliah, sebagaimana pantauan
Serambi ke sejumlah fakultas tidak berjalan sama sekali. Selain tak
ada mahasiswa yang masuk, dosen pun tidak terlihat.
Tidak berlangsungnya aktivitas belajar-mengajar di lembaga pendidikan
kemarin merupakan inisiatif dari masing-masing peserta didik. Karena
sebagaimana pengamatan Serambi, para orangtua murid terkesan was-was
melepaskan anak-anaknya ke sekolah.
Sumbangan Nasi
Dampak tidak bukanya warung nasi sepanjang hari kemarin menimbulkan
masalah bagi masyarakat yang menghadiri perhelatan SU-MPR, terutama
untuk makan siang. Namun kendala ini sedikit terbantu dengan
partisipasi warga kota, terutama kalangan ibu-ibu yang mengantar nasi
bungkus atau bu kulah untuk masyarakat yang menghadiri kegiatan
kolosal tersebut.
Keikutsertaan kaum ibu terlihat ketika menjelang waktu makan siang
kemarin. Hampir dari setiap rumah ada yang menjinjing nasi bungkus
untuk peserta sidang.
Jumlah makanan itu, menurut Koordinator Presidium Pusat SIRA, Muhammad
Nazar SAg yang dihubungi Serambi tadi malam, tidak dihitung secara
rinci. Namun, jumlahnya secara umum bisa ditaksir.
Sebab, katanya, Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) telah meminta
bantuan kepada warga Kota Banda Aceh agar menyediakan bantuan seperti
itu untuk para tamu. Bantuan sukarela ini, ternyata direalisir
sebagian besar warga di setiap kelurahan di kota maupun desa-desa di
Banda Aceh, termasuk Aceh Besar.
Rata-rata, katanya, setiap kepala keluarga (KK) membantu sebanyak lima
bungkus nasi plus makanan ringan. Setiap bungkusnya sudah dicampur
dengan lauk-pauk dengan porsi bervariasi.
Makanan itu, katanya, diserahkan dengan cara yang berbeda. Ada yang
langsung mengantarkan ke tempat-tempat penampungan para tamu, dan ada
pula yang dijemput dari rumah ke rumah.
Sementara itu, sejumlah karyawan Pasar Swalayan di Banda Aceh
mengungkapkan, pihak pengelola terpaksa menutup kegiatannya karena
kuatir terhadap hal-hal yang tidak diharapkan.
Di perbankan, hingga siang kemarin tak ada kegiatan kliring maupun
transaksi dana untuk masyarakat umum. Operasional bank tutup akibat
macetnya tranportasi kota.
"Tutupnya bank, karena sejak pukul 06.00 jalan di kota sudah macet,
akibat dipenuhi masyarakat yang akan menghadiri pelaksanaan SU- MPR,"
ujar Kabid Ekonomi Moneter dan Perbankan Bank Indonesia Banda Aceh,
Abdul Wahab Sjachroni SE kepada Serambi kemarin.
Hal senada juga diungkapkan petugas penjaga BII dan BCA. Mereka
menjelaskan, banknya ditutup, di samping faktor pelaksaan sidang umum
tersebut, juga karena banyak karyawan yang tidak hadir, akibat
macetnya transportasi.(asi/y/mis/ed/her/n)Serambi Indonesia
Subscribe to:
Posts (Atom)
homestay
homestay
-
Batuan emas biasanya selalu berasosiasi dengan mineral pembawa emas serta juga dikaitkan dengan deposito sulfida yang telah teroksidasi. Car...
-
Daftar Situs Resmi Pemerintah Propinsi NAD Beserta Kabupaten/Kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan Provinsi Paling Ujung Barat ...
-
Di Indonesia sudah ada distributor penyalur bahan tambang emas dan menjamin kualitas dari tenaga ahli tambang emas, yang juga memberikan jas...