Sunday, May 22, 2011

Gelorakan Referendum


Acehnese supporters rally for independence under a banner reading "Referendum," in front of the main mosque in Banda Aceh, about 1,700 kilometers (1,100 miles) northwest of Jakarta, Monday, Nov. 8, 1999. More than 1,500,000 marchers protested in the biggest rally yet for an East Timor-style vote on whether to break away from Indonesia. (AP Photo/Achmad Ibrahim/Monday 8 November 1999)

Perhelatan kolosal Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR)
Aceh, Senin kemarin, berlangsung sukses, damai, dan nyaris tanpa
insiden berarti. Massa yang disebut panitia 2 juta orang dari seluruh
tingkat II di Aceh itu, memadati kawasan Masjid Raya Baiturrahman dan
sebagian lagi berkonvoi dalam Kota Banda Aceh.

Kata pengamat, dalam sejarah daerah ini, belum pernah terjadi
'penumpukan' manusia sebanyak peristiwa kemarin. "Seumur hidup saya
tak pernah melihat orang sebanyak ini," kata M Kasim (45) yang datang
yang mengaku datang dari Kabupaten Aceh Timur.

Dinilai luar biasa, terutama karena konsentrasi manusia sebanyak itu
ternyata bisa terkendali. Yang berada di kawasan Masjid Raya
Baiturrahman untuk mengikuti sidang umum, mereka bisa duduk secara
rapi dan tertib.

Hampir tak ada sudut dalam komplek masjid kebanggaan rakyat Aceh itu
yang tanpa diisi manusia. Sebagian lagi memadati jalan-jalan di
pinggiran masjid. Bahkan, karena tak kebagian tempat, sebagian massa
terpaksa menaiki sejumlah bangunan, seperti atap tempat parkir dan
bangunan tempat berwudhuk, bangunan Pasar Aceh, pertokoan-pertokoan,
pohon-pohon kecil, dan bahkan bangunan seperti pintu gerbang masjid di
atasnya juga turut berjejal manusia.

Pagi kemarin, penumpukan manusia di kawasan Masjid Raya Baiturrahman
berlangsung cepat. Sehingga menjelang pukul 08.00 WIB kemarin, massa
yang terus mengalir dari berbagai sudut dalam Kota Banda Aceh, tidak
bisa lagi masuk ke kawasan masjid. Massa yang tidak bisa lagi masuk ke
kawasan masjid ini jumlahnya dilaporkan jauh lebih banyak, mencapai
empat kali dari yang ada di kawasan masjid. Sebagiannya kemudian
mengisi berbagai sudut kota dan sebagian melakukan konvoi secara
berpencar-pencar.

Massa yang umumnya menggunakan ikat kepala bertuliskan "Referendum"
ini benar-benar larut dan histeris. Pekikan Allahu Akbar, alunan
Shalawat Nabi, hikayat Prang Sabi, ataupun zikir, sebentar-bentar
bergema yang dipandu sejumlah tokoh referendum dari mimbar, Akmal
Aksal (pemandu acara), Muhammad Nazar (SIRA), Faisal Ridha (ketua
panitia), Tgk Nuruzzahri (ulama), Tgk Bulqaini (pimpinan Thaliban),
Fajri M Kasim (mahasiswa), Cut Nurasikin (tokoh wanita), maupun
Muhammad Yus dan Nasir Jamil (pimpinan DPRD Aceh).

Dari atas mimbar yang terletak di depan teras utama Masjid Raya
Baiturrahman, para pemandu dan orator seringkali menasihati massa agar
tetap bersikap tertib. Ini terutama di saat sesekali massa histeris
karena isi pidato ataupun insiden-insiden kecil di tengah massa.
Sehingga terkadang massa berdiri, namun kemudian mereka segera
ditenangkan dan diingatkan tidak terprovokasi.

Massa yang menyemut di masjid itu bisa dengan mudah dikendalikan dari
mimbar. Bila massa mulai berdiri misalnya, dengan cepat para pemandu
mengajak massa untuk bershalawat atau memekikkan Allah Akbar. Mereka
patuh saat diminta untuk duduk kembali. Selain dari mimbar, di antara
sesama massa pun terkadang mereka saling mengingatkan untuk bersikap
tertib. Mereka tampak sangat menyadari sedang memperjuangkan
referendum secara damai. "Hari ini dunia menyaksikan bahwa masyarakat
Aceh cinta damai," teriak seorang orator dari mimbar.

Sekitar pukul 09.30 WIB sempat terjadi insiden kecil yang memancing
perhatian massa di sisi utara masjid. Rupanya sebagian atap bangunan
parkir masjid sempat patah karena tidak mampu menyanggah banyaknya
jumlah massa yang naik. Namun, massa lagi-lagi dengan cepat bisa
ditenangkan. Bersamaan dengan insiden kecil ini hujan rintik-rintikpun
turun, seakan memberikan siraman kepada massa yang mulai kegerahan.
Cuaca yang menyelimuti Kota Banda Aceh kemarin memang tampak sangat
bersahabat dan menguntungkan. Terik matahari tidak terlalu panas.
Bahkan massa di komplek masjid sempat beberapa kali disiram hujan
rintik-rintik yang sangat menolong mereka dari kegerahan. "Kita
ternyata tidak memerlukan mobil penyemprot air. Allah telah menyirami
kita. Namun kita jangan sombong," teriak pemandu acara, Akmal Absal.
Secara resmi acara kemarin dimulai sekitar pukul 08.15 WIB yang
diawali dengan mengumandangkan ayat-ayat suci al-Quran oleh Fadliana.
Baru kemudian pada sekitar pukul 08.50 WIB bendera referendum
berukuran 4x8 meter dengan sangat hikmat perlahan-lahan dinaikkan ke
tiang beton yang terletak di sisi selatan halaman masjid.
Bendera referendum ini dinaikan oleh sebuah pasukan berseragam
berjumlah 24 orang yang dipimpin Adista. Mereka bergerak dengan
formasi 4:2:9:9. Formasi ini sesuai dengan waktu pelaksanaan Kongres
Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau pada tanggal 4 Februari 1999. Bendera
ini perlahan-lahan dinaikkan dengan iringan hikayat Prang Sabi.
Setelah sejumlah tokoh menyampaikan orasi, barulah pada sekitar pukul
10.50 WIB, Ketua terpilih DPRD Aceh, Drs Muhammad Yus diminta tampil
berbicara. Di depan massa, Muhammad Yus antara lain berjanji akan
meneruskan perjuangan yang dikehendaki masyarakat Aceh.
Muhammad Yus juga menjelaskan bahwa kedudukannya saat ini hanya baru
sebatas sebagai ketua DPRD Aceh yang baru dipilih beberapa hari lalu
dan sampai kemarin belum mendapat pengesahan. Karena itu, Muhammad Yus
saat itu memanggil pimpinan sementara DPRD Aceh, Drs Nasir Djamil
(anggota termuda) untuk bersama-sama dengannya menyampaikan serta
membaca janji/komitmen DPRD Aceh dan Pemda Aceh sebagai berikut.

Kami lembaga Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan
pemerintah daerah Istimewa Aceh menyatakan komitmen dan menuntut
hal-hal sebagai berikut.

þ Mengakui bahwa tuntutan dan perjuangan untuk mendaptkan hak
penentuan nasib sendiri (self determination) rakyat Aceh melalui
sebuah Referendum Damai dan Demokratis merupakan tuntutan dan
perjuangan rakyat Aceh secara keseluruhan, serta mesti ditanggapi
secara positif oleh semua pihak di tingkat nasional dan internasional
secara positif.

þ Berjanji memperjuangkan terwujudnya pelaksanaan referendum di Aceh
secara transparan, damai, dan demokratis.

þ Berjanji menolak segela bentuk militerisme di Aceh.

þ Apabila kami mengingkari janji-janji/komitmen-komitmen tersebut,
maka kami berhak diberikan hukuman sosial oleh seluruh rakyat Aceh.
Setelah dibaca, Muhammad Yus dan Nasir Djamil membubuhkan tandatangan
mereka. Saat menandatangani janji, seorang panitia memegang sebuah
al-Quran di atas kepala Muhammad Yus. Prosesi ini berlangsung sangat
hikmat. Sesaat kemudian massa tampak histeris. Namun lagi-lagi mereka
bisa ditenangkan dengan tampilnya seorang 'tokoh tua' yang melantunkan
lagu Jak keuno rakan ta dukung referendum dengan irama lumayan bagus,
sehingga sebagian massa tampak ikut berjoget ria, lalu mereka duduk
kembali secara tertib.

Sedangkan atas nama Pemda Aceh, janji/komitmen tersebut ditandatangani
Wagub Bustari Mansyur karena Gubernur Syamsuddin Mahmud hingga kemarin
masih di Jakarta. Panitia menjelaskan kepada massa bahwa Syamsuddin
Mahmud juga akan ikut menandatangani naskah janji tersebut setelah ia
kembali ke Banda Aceh beberapa hari mendatang. Kata Nasir Djamil,
naskah janji/komitmen tersebut akan dikirim kepada presiden, MPR, DPR,
dan Sekjen PBB.

Barulah sekitar pukul 11.45 acara diakhiri secara resmi dengan
pembacaan doa. Namun, setelah itu, massa belum juga beranjak karena
kemudian masih dilanjutkan dengan acara pembukaan selubung tulisan
referendum yang dipancangkan di sisi masjid sebelah timur. Huruf
tulisan pada billboard itu terbuat dari besi, dipancangkan di dekat
billboard referendum lama yang selubungnya beberapa waktu lalu turut
ditarik Gus Dur (kini presiden) dan Amin Rais (kini Ketua MPR).
Billboard baru ini, ukurannya jauh lebih besar dan lebih tinggi
dibanding dengan billboard lama.

Sekitar pukul 12.00 massa kemudian mulai berangsur-angsur bergerak
meninggalkan halaman masjid.

Dari berbagai daerah tadi malam dilaporkan, iring-iringan kendaraan
rombongan yang kembali dari Banda Aceh mendapat sambutan antusias dari
masyarakat di sepanjang jalan yang dilalui hingga mencapai tujuan.
Ketua Panitia Pelaksana Faisal Ridha dan Koordinator Presidium Pusat
Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) Muhammad Nazar, seusai acara
kepada Serambi, menyatakan bahwa massa yang terlibat dalam aksi
kemarin lebih dari 1,5 juta orang. Karena, menurut Nazar dan Faisal
Ridha, sejumlah daerah tingkat II ternyata mengirim peserta jauh lebih
banyak dari yang direncanakan.

Melalui Serambi, Nazar dan Faisal Ridha menyampaikan terima kasih
kepada rakyat Aceh atas suksesnya acara tersebut. "Ini perjuangan kita
yang tidak mungkin bisa dibendung lagi. Melalui acara ini telah
membuktikan bahwa masyarakat Aceh bersatu dalam perjuangan ini," kata
Muhammad Nazar. (rul/ism/kan/ham/ed)
Luar Biasa!

HAMPIR sepanjang hari kemarin, Banda Aceh mengukir sejarah yang
benar-benar spektakuler. Konon menurut pengakuan beberapa orang tua
berusia 50-an tahun, seingat mereka belum pernah melihat orang
sebanyak itu membanjiri ibukota Propinsi Aceh. Luar biasa!

Memang luar biasa. Namun nilai luar biasanya bukan hanya karena jumlah
manusia yang menurut taksiran beberapa pihak mencapai 2 juta orang.
Lebih dari itu, selama berlangsungnya aksi pengerahan massa, nyaris
tak terjadi insiden berarti. Sulit dipercaya memang. Tapi begitulah
kenyataannya.

Dalam sejarah perjalanan masyarakat Aceh ke depan, apa yang terjadi
kemarin diyakini akan tercatat dengan tinta emas. Masjid Raya
Baiturrahman menjadi saksi suksesnya acara kolosal yang "berlabel"
Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU-MPR) tersebut.

Sepanjang perhelatan akbar itu, seluruh rutinitas di perkantoran
pemerintah/swasta, sekolah, perbankan, perdagangan, dan berbagai usaha
jasa lainnya terhenti total. Yang terlihat hampir di setiap jengkal
kota berpenduduk 260.000 jiwa itu hanya kesibukan massa. Seluruhnya
bergerak ke satu titik. Masjid Raya Baiturrahman, tempat SU-MPR itu
digelar.


Sesak hingga ke lorong

Komplek Masjid Raya Baiturrahman -- termasuk pelataran parkir -- yang
luasnya sekitar sembilan hektar ternyata tak mampu menampung ledakan
peserta SU-MPR yang menyesaki lokasi itu sejak pukul 07.00.
Selebihnya -- diperkirakan jumlahnya mencapai empat kali lipat dari
yang terkonsentrasi di komplek masjid -- tersebar di setiap jengkal
kota.

Bagi massa yang berada di luar komplek SU MPR tersebut, selain tekun
mendengarkan orasi dari mimbar utama melalui sound system masjid
berkekuatan puluhan ribu watt, juga melakukan pawai refer- endum.
Iringan pawai yang terpecah dalam beberapa kelompok besar itu
"merayap" ke berbagai pelosok kota. Tim Serambi yang menyertai iringan
pawai menyaksikan langsung bagaimana sesaknya seluruh ruas jalan kota,
termasuk lorong-lorong desa/kelurahan.

Meski kendaraan harus tertatih-tatih, namun tak terlihat wajah kesal.
Semua larut dalam teriakan referendum, kumandang takbir, shalawat
badar, dan hikayat prang sabi melalui pengeras suara yang dibawa oleh
sebagian besar peserta pawai.

Nuansa haru yang sulit dilukiskan dengan kata-kata terlihat ketika
iringan pawai melintas di lorong-lorong desa/kelurahan. Hampir setiap
rumah penduduk di sepanjang lorong yang dilewati menyediakan air putih
pelepas dahaga untuk peserta pawai. Bagi penduduk yang berkemampuan di
atas rata-rata, tampak membagi-bagikan es dan air mineral. Kesan
senasib-sepenanggungan terlihat kental sekali.


Jalur sungai padat

Pergerakan massa ke pusat Kota Banda Aceh kemarin bukan hanya melewati
jalan darat. Malah jalur sungai pun tak kalah padatnya. Puluhan kapal
motor berbagai ukuran, sejak pagi hingga siang kemarin terlihat
memobilisasi massa melalui jalur Krueng Aceh. Massa yang menggunakan
angkutan sungai itu, antara lain dari kawasan Lampulo, dan desa-desa
lainnya di sepanjang aliran sungai tersebut.

Setiap boat pengangkut massa, selain dihiasi dengan spanduk
referendum, juga menabuh rapaie, mengumandangkan shalawat, dan
bertakbir. Setelah menurunkan penumpang di dermaga jembatan Pante
Pirak dan Peunayong, armada boat itu "berkonvoi" hilir mudik di jalur
Krueng Aceh.

Menurut data yang diperoleh Serambi, tidak kurang 20 boat terlibat
dalam mobilisasi massa sejak pagi hingga siang kemarin. Partisipasi
awak boat tersebut mendapat sambutan positif dari peserta pawai yang
lalu-lalang di atas jembatan. Teriakan "hidup referendum" disertai
acungan jempol antara peserta di darat dengan yang di dalam boat
saling bersahut-sahutan.

Semangat memperjuangkan referendum ternyata bukan hanya bergelora di
kalangan peserta yang berkumpul di sekitar komplek Masjid Raya
Baiturrahman. Semangat yang sama juga ada di seluruh pojok Banda Aceh.
Karena tidak sedikit orang yang menyetel siaran langsung kegiatan itu
melalui radio mereka.

Seperti di persimpangan Keudah misalnya -- entah dari mana
sumbernya -- suara radio yang sedang menyiarkan siaran langsung SU-
MPR sengaja dihubungkan ke pengeras suara. Sehingga masyarakat yang
berada dalam radius 100 meter dari sumber suara itu dengan mudah
mendengarkannya. Begitu pun radio mobil yang sedang berpawai, sengaja
disetel "meledak-ledak" sehingga gema referendum semakin meluas.
Barangkali panitia pantas berlapang dada, karena SU-MPR berlangsung
damai. Sukses itu tak lepas dari kuatnya semangat kebersamaan.
Di hampir seluruh persimpangan, berdiri petugas penertiban (polisinya
panitia) untuk mengatur lalulintas. Tak terkesan angkuh atau
tanda-tanda sombong. "Sang polisi" bentukan panitia SU-MPR bekerja
sangat ikhlas. Masyarakat yang dilayani tampak cukup puas, meski harus
antri belasan menit di setiap persimpangan.


Tanpa korban

Meskipun peserta SU-MPR kemarin diperkirakan mencapai 2 juta orang,
tapi terjadi kejutan karena tak sempat jatuh korban. Kalaupun ada yang
terpaksa masuk rumah sakit, hanya karena luka-luka lecet akibat jatuh
dari kendaraan atau pingsan karena tidak sarapan pagi.

Data yang diperoleh Serambi dari kalangan medis dan perawat di UGD RSU
Zainoel Abidin Banda Aceh, jumlah korban yang membutuhkan perawatan
sementara hanya 12 orang. "Seluruhnya mengalami keluhan sakit perut
karena tidak sarapan pagi. Sebagian lainnya luka-luka lecet karena
kecelakaan ringan," kata seorang dokter UGD.

Kalangan medis dan perawat di UGD kepada Serambi mengatakan, mereka
tak menyangka sama sekali jika jumlah korban yang masuk rumah sakit
hanya sebanyak itu. Padahal seluruh dokter ahli dan perawat senior
dikerahkan ke UGD untuk memberikan pertolongan terhadap "korban SU-
MPR".
"Luar biasa sekali. Orang sebanyak itu ternyata tak terjadi insiden
berarti. Ini patut kita syukuri," kata seorang perawat senior di UGD
RSU Zainoel Abidin.

Di RS Fakinah, tercatat hanya satu orang "korban" yang sempat dirawat
akibat keluhan keram dan kejang-kejang. Sedangkan di RS Malahayati
empat orang yang dirawat akibat luka-luka ringan karena kecelakaan.
Dengan demikian, total korban yang dirawat diketiga rumah sakit itu
hanya 17 orang. (nan/n/mis/y/rs/asi/ism)
Rilis Serambi Indonesia Selasa, 9 November 1999



Hundreds of thousands of Acehnese supporters rally for independence in Banda Aceh, about 1,700 kilometers (1,100 miles) northwest of Jakarta, Monday, November 8, 1999. More than 1,500,000 marchers protested in the biggest rally yet for an East Timor-style vote on whether to break away from Indonesia. (AP Photo/Achmad Ibrahim/Monday 8 November 1999)

homestay

homestay