Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) Aceh di Banda Aceh
kemarin tidak diorganisir Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"Kami meminta referendum, sedang GAM jelas-jelas mau merdeka. Bagi
kami, apapun hasil referendum akan diterima: apakah tetap bersama
Republik Indonesia atau Aceh bisa merdeka seperti Timtim," kata Ketua
Forum Internasional untuk Aceh (IFA) Jafar Siddiq Hamzah kepada
wartawan Serambi Nurdin Hasan di New York, Minggu malam (Senin pagi
WIB).
Sementara itu, Sekjen Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) Aceh,
Aguswandi, mengatakan sekarang ini ada dua gerakan yang berbeda di
Serambi Mekkah, yaitu Gerakan Aceh Merdeka dan gerakan masyarakat
sipil yang menuntut referendum.
GAM, kata Aguswandi, dari dulu telah mengangkat senjata untuk
memperjuangkan kemerdekaan Aceh. GAM yang dipimpin Hasan Tiro adalah
sebuah gerakan perlawanan bersenjata.
Sedangkan gerakan sipil yang meminta referendum adalah gerakan
non-bersenjata dan memperjuangkan hak-hak rakyat Aceh melalui
cara-cara damai. Mulanya dimotori oleh mahasiswa dan mendapat sambutan
dari kalangan ulama, santri dan cendikiawan.
Gerakan ini makin mendapat dukungan dari masyarakat umum menyusul
keruntuhan Orde Baru dan aksi militer yang dinilai melanggar hak asasi
manusia, terutama serangan atas Tengku Bantaqiah dan pengikutnya di
desa Beutong Ateuh.
"Gerakan sipil inilah yang mengorganisasikan aksi damai ratusan ribu
warga Aceh di Pidie dan kemudian disusul Sidang Umum Masyarakat
Pejuang Referendum di Banda Aceh yang dihadiri sekitar sejuta orang
dari seluruh wilayah Aceh," kata Aguswandi.
Menurut Jafar, referendum adalah cara yang paling baik untuk
menyelesaikan masalah Aceh. Sebab, melalui referendum itu akan bisa
diketahui apa keinginan sekitar 4 juta rakyat Aceh, apakah mau tetap
bersama Indonesia atau melepaskan diri setelah lebih dari 54 tahun
bersama Indonesia. "Kami akan terima dan hormati apapun hasilnya,"
kata Jafar.
Terhadap kemungkinan terjadinya perang saudara jika diadakan
referendum sebagai halnya yang terjadi di Timtim, Jafar yang mengaku
tahu betul karakter rakyat Aceh menegaskan bahwa hal itu tidak akan
terjadi. Kecuali kalau memang ada yang merekayasanya.
Untuk menjaga agar proses referendum itu berjalan dengan bebas, jujur,
aman dan lancar, Jafar mengatakan sebaiknya referendum itu
dilaksanakan PBB sebagaimana yang terjadi di Timtim. "Idealnya sih
begitu," katanya.
Namun, jika PBB tidak dimungkinkan untuk menjadi pelaksana, proses
referendum itu bisa juga dilakukan lembaga khusus untuk itu dengan
mengikutsertakan lembaga-lembaga internasional, badan-badan PBB dan
LSM semacam Carter Center.
Baik Jafar maupun Aguswandi tidak mau berspekulasi mengenai apakah
pihak yang ingin Aceh merdeka akan memenangi referendum itu
sebagaimana jajak pendapat di Timtim.
"Kita lihat saja nanti. Yang jelas orang Aceh umumnya hanya mengetahui
bahwa referendum itu berarti merdeka," kata Aguswandi.
Tak ada dukungan
Direktur Eksekutif Human Right Watch Asia, Sidney Jones, menjawab
pertanyaan ANTARA dalam sebuah diskusi di New York, mengatakan mungkin
saja hasil jajak pendapat di Timtim memberi inspirasi dan semangat
bagi rakyat Aceh, namun sampai saat ini tidak ada dukungan
internasional bagi "Serambi Mekkah" itu untuk merdeka.
"Aceh tidak punya semacam Portugal bagi Timtim yang begitu giatnya
memperjuangkan bekas wilayah jajahannya itu. Aceh juga tidak punya
tokoh-tokoh macam Ramos Horta yang aktif melakukan kampanye Timtim di
luar negeri," kata Sydney.
Portugal, katanya, begitu kerasnya menekan Indonesia soal Timtim di
forum-forum seperti Uni Eropa dan PBB. Sedangkan untuk Aceh, tidak ada
negara yang memperjuangkan kepentingan Aceh di forum internasional,
termasuk misalnya di Organisasi Konferensi Islam (OKI). Apalagi di PBB
dan Uni Eropa.
Menurut Sydney Jones, tidak adanya dukungan internasional bagi Aceh
juga disebabkan dasar legitimasi tuntutan Aceh yang tidak sekuat
Timtim. Ada sejumlah resolusi PBB yang tidak mengakui integrasi Timtim
ke dalam Indonesia, sedangkan dasar hukum internasional itu tidak
dimiliki Aceh.
"Mungkin ada surat-surat Aceh di PBB, tetapi tidak sekuat resolusi
yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB," kata Sydney.
Belum lagi, katanya, peran Gereja Katolik Internasional yang sangat
besar bagi perjuangan Timtim. "Peran gereja ini yang tidak dimiliki
Aceh," ujar Sydney Jones.
Namun, Jafar Siddik mengatakan, tidak sepenuhnya pendapat Sydney Jones
benar. Aceh punya dasar-dasar yang cukup kuat untuk meminta referendum
bagi hak menentukan nasib sendiri. Jafar mengacu pada sejarah Aceh
yang tak pernah bisa ditaklukan penjajah Belanda.
Selama penjajahan Belanda, katanya, Kerajaan Aceh tidak bisa
dikalahkan. Pada tahun 1942, Jepang masuk dan Belanda meninggalkan
Indonesia. Pada tahun 1945 Indonesia merdeka. Pada tahun 1949 Belanda
menyerahkan kedaulatan bekas wilayah jajahannya kepada pemerintah
Indonesia.
"Lha bagaimana Belanda bisa menyerahkan Aceh kepada kedaulatan
Indonesia sementara Aceh tidak pernah menjadi wilayah jajahannya,"
begitu Jafar mempertanyakan. (*)
Sumber: Serambi Indonesia